PERATURAN DAERAH KABUPATEN NUNUKAN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK DAERAH

Oleh Haris pada 8 Februari 2021 • 3 tahun yang lalu

PERATURAN DAERAH KABUPATEN NUNUKAN
NOMOR 11 TAHUN 2011
TENTANG
PAJAK DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI NUNUKAN,

Menimbang : a. bahwa dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pada Pasal 2 ayat (2) huruf a, b, c, d, e, g, h dan i pengaturan mengenai Pajak Hotel, Pajak Resroran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, dan Pajak Sarang Burung Walet merupakan pajak daerah;
b. bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 95 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah maka Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan Nomor 14 Tahun 2001 tentang Pajak Parkir, Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan Nomor 27 Tahun 2001 tentang Pajak Hotel, Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan Nomor 28 Tahun 2001 tentang Pajak Restoran, Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan Nomor 29 Tahun 2001 tentang Pajak Hiburan, Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan Nomor 30 Tahun 2001 tentang Pajak Reklame, dan Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan Nomor 32 Tahun 2001 tentang Pajak Penerangan Jalan perlu di tinjau kembali;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b diatas, perlu menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan tentang Pajak Daerah;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2013);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3029);
3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 54 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3091), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4048);
4. Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Timur dan Kota Bontang (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 175 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Nomor Republik Indonesia 3896), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang 47 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3962);
5. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4189);
6. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah diubah beberapakali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
8. Undang – Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
9. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
10. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966);
11. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Jalan dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025 );
12. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038);
13. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);
14. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 140 Tambahan Lembaran Negara Nomor 5059);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4049);
17. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4161);
18. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);
19. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
20. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
21. Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan Nomor 6 Tahun 2001 tentang Penyidik Pegawai Negeri sipil Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Nunukan Tahun 2001 Nomor 06 Seri D Nomor 06);
22. Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan Nomor 3 Tahun 2003 tentang Izin Eksplorasi Air Bawa Tanah, Pengoboran penerapan Mata Air, Pengambilan Air Bawah Tanah dan Mata Air (Lembaran Daerah Kabupaten Nunukan Tahun 2003 Nomor 3 Seri E Nomor 03);
23. Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Kualitas air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran daerah Kabupaten Nunukan Tahun 2003 Nomor 41 seri E Nomor 22);
24. Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan Nomor 23 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas-Dinas Daerah Kabupaten Nunukan (Lembaran Daerah Kabupaten Nunukan Tahun 2008 Nomor 23 Seri D Nomor 09);
25. Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Reklame (Lembaran Daerah Kabupaten Nunukan Tahun 2008 Nomor 8 Seri E Nomor 08);
26. Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Nunukan Tahun 2009 Nomor 4 Seri A Nomor 04);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN NUNUKAN
dan
BUPATI NUNUKAN
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN NUNUKAN TENTANG PAJAK DAERAH
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Kabupaten adalah Kabupaten Nunukan.
2. Pemerintah Kabupaten adalah Pemerintah Kabupaten Nunukan.
3. Bupati adalah Bupati Nunukan.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Nunukan.
5. Dinas adalah Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Nunukan.
6. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Nunukan.
7. Orang Pribadi adalah orang perorangan sebagai subyek hukum.
8. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi lainnya, Lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
9. Pihak Ketiga adalah setiap orang atau badan hukum yang berada di indonesia.
10. Pajak daerah yang selanjutnya dapat disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
11. Pajak hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel.
12. Hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh).
13. Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran.
14. Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetarian, kantin, warung, Depot, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga / catering.
15. Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggara hiburan.
16. Hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan dan/atau keramaian yang dinikmati dengan dipungut bayaran.
17. Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaran reklame.
18. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial, memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau untuk menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang atau badan yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati oleh umum.
19. Pajak Penerangan jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain.
20. Pajak Parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir diluar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
21. Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara.
22. Pajak Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
23. Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
24. Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
25. Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
26. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan, yang dapat dikenakan Pajak.
27. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayaran pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
28. Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dalam Peraturan Daerah ini yang menjadi dasar bagi Wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terhutang.
29. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila wajib pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
30. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan perpajakan daerah.
31. Pungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak kepada Wajib pajak serta pengawasan penyetorannya.
32. Surat Pemberitahuan Pajak daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD, adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
33. Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD, adalah bukti pembayaran atau penyetoraan pajak yang telah menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran yang ditunjuk oleh Bupati.
34. Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
35. Surat Setoran Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administratif dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
36. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
37. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
38. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah besar pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
39. Surat tagihan pajak daerah yang selanjutnya disingkat STPD, adalah surat untuk melakukan tagiahan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.
40. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penetapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah yang terdapat dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang bayar, Surat ketetapan kurang bayar Tambahan. Surat Tagihan Surat ketetapan pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
41. Surat Keputusan Keberatan adalah Surat Keputusan atas keberatan terhadap Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
42. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
43. Insentif Pemungutan Pajak yang selanjutnya disebut Insentif adalah tambahan penghasilan yang diberikan sebagai penghargaan atas kinerja tertentu dalam melaksanakan pemungutan Pajak.
44. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
45. Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
46. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib pajak.
47. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
48. Kas Daerah adalah Kas Daerah Kabupaten Nunukan.
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2
Ruang lingkup Pajak Daerah yang diatur dalam Peraturan Daerah ini meliputi:
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Parkir;
g. Pajak Air Tanah; dan
h. Pajak Sarang Burung Walet;
BAB III
NAMA, OBJEK DAN SUBJEK PAJAK
Bagian Kesatu
Pajak Hotel
Pasal 3
(1) Setiap pelayanan yang disediakan oleh hotel dengan pembayaran termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan hotel yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas olah raga dan hiburan dipungut pajak dengan nama Pajak Hotel.
(2) Objek Pajak Hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh hotel dengan pembayaran termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan hotel yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas olahraga dan hiburan.
(3) Jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah fasilitas telepon, faksimilie, teleks, internet, fotocopy, pelayanan cuci, strika, transportasi dan fasilitas sejenis lainnya yang disediakan atau dikelola hotel.
(4) Tidak termasuk objek pajak hotel sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
a. Jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah;
b. Jasa sewa apartemen, kondominium dan sejenisnya;
c. Jasa tempat tinggal dipusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
d. Jasa tempat tinggal di rumsh sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan dan panti sosial lainnya yang sejenisnya, dan
e. Jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh hotel yang dapat dimanfaatkan oleh umum.
Pasal 4
(1) Subjek pajak hotel adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran kepada orang pribadi atau badan yang mengusahakan Hotel.
(2) Wajib pajak hotel adalah orang pribadi atau badan yang mengusahakan Hotel.
Bagian Kedua
Pajak Restoran
Pasal 5
(1) Setiap pelayanan yang disediakan dengan pembayaran di restoran dipungut pajak dengan nama Pajak Restoran.
(2) Objek Pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan di Restoran.
(3) Pelayanan yang disediakan restoran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pelayanan penjualan makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi oleh pembeli, baik dikonsumsi ditempat pelayanan maupun di tempat lain.
(4) Tidak termasuk objek pajak restoran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) adalah pelayanan yang disediakan di restoran yang nilai penjualannya tidak melebihi Rp.3.000.000,- perbulan.
Pasal 6
(1) Subjek pajak restoran adalah orang pribadi atau badan yang membeli makanan dan/atau minuman dari restoran.
(2) Wajib Pajak Restoran adalah orang pribadi atau badan yang mengusahakan Restoran.
Bagian Ketiga
Pajak Hiburan
Pasal 7
(1) Setiap penyelenggaraan hiburan di Kabupaten Nunukan dengan dipungut bayaran dikenakan pajak dengan nama pajak hiburan
(2) Objek pajak hiburan adalah jasa penyelenggaraan hiburan dengan dipungut bayaran.
(3) Termasuk objek pajak hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi :
a. tontonan film;
b. pagelaran kesenian, musik, tari dan/atau busana;
c. kontes kecantikan, binaraga dan sejenisnya;
d. pameran;
e. diskotik, karaoke, klab malam dan sejenisnya;
f. sirkus, acrobat, dan sulap;
g. permainan bilyar, golf, dan bawling;
h. pacuan kuda, kendaraan bermotor dan permainan ketangkasan;
i. panti pijat, refleksi, mandi, uap/spa, dan pusat kebugaran (Fitness center), dan
j. pertandingan olahraga.
Pasal 8
(1) Subjek Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau badan yang menikmati hiburan.
(2) Wajib Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan hiburan.
Bagian Keempat
Pajak Reklame
Pasal 9
(1) Setiap penyelenggara reklame di Kabupaten Nunukan dipungut pajak dengan nama Pajak Reklame.
(2) Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
(3) Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi :
a. reklame papan/Billboard dan sejenisnya;
b. reklame Videotron/megatron/Laghting Elektronik dan sejenisnya;
c. reklame umbul-umbul, spanduk, banner, baliho dan sejenisnya;
d. reklame melekat, stiker;
e. reklame selebaran, brosur, leaflet;
f. reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
g. reklame udara;
h. reklame apung;
i. reklame suara;
j. reklame film/slide; dan
k. reklame peragaan.
(4) Tidak Termasuk Objek Pajak Reklame adalah:
a. Penyelenggaraan reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan warta bulanan, dan sejenisnya;
b. Label/merk produk yang melekat pada barang yang diperdagangan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenisnya;
c. Nama Pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan tempat usaha atau profesi yang diselenggarakan sesuai dengan ketentuan yang mengatur nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
d. Penyelenggara reklame yang memuat lembaga yang bergerak di bidang pendidikan, sosial dan kesehatan yang tidak berorentasi mendapatan propit dengan ketentuan luas bidang reklame tidak melebihi 2 m2 (dua meter persegi) dan diselenggarakan diatas tanah/bangunan yang bersangkutan; dan
e. Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Kabupaten/Lembaga Negara lainnya.
Pasal 10
(1) Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan reklame.
(2) Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan reklame.
(3) Dalam hal reklame diselenggarakan, sendiri secara langsung oleh orang pribadi atau badan, Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan tersebut.
(4) Dalam hal reklame diselenggarakan melalui pihak ketiga, pihak ketiga tersebut menjadi Wajib Pajak Reklame.
Bagian Kelima
Pajak Penerangan Jalan
Pasal 11
(1) Setiap penggunaan tenaga listrik dipungut pajak dengan nama Pajak Penerangan Jalan.
(2) Objek Pajak Penerangan Jalan adalah penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain.
(3) Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi seluruh pembangkit listrik.
(4) Penggunaan tenaga listrik yang diperoleh dari sumber lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Penggunaan tenaga listrik yang berasal dari PLN maupun bukan PLN.
(5) Dikecualikan dari objek Pajak Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah ;
a. penggunaan tenaga listrik oleh instansi pemerintah dan pemerintah Daerah;
b. penggunaan tenaga listrik pada tempat-tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing dengan asas timbal balik; dan
c. penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 12
(1) Subjek Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau badan yang dapat menggunakan tenaga listrik.
(2) Wajib Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan tenaga listrik.
(3) Dalam hal tenaga listrik disediakan oleh sumber lain, Wajib Pajak Penerangan Jalan adalah penyedia tenaga listrik.
Bagian Keenam
Pajak Parkir
Pasal 13
(1) Setiap penyelenggaraan tempat parkir dengan dipungut bayaran atau seharusnya dibayar, dikenakan pajak dengan nama Pajak Parkir.
(2) Objek pajak parkir adalah penyelenggara tempat parkir diluar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha.
(3) Penyelenggaraan tempat parkir yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi tempat parkir di hotel, mall, perkantoran, hiburan, pasar, dan tempat parkir lainnya yang sejenis.
(4) Penyelenggaraan tempat parkir yang disediakan sebagai suatu usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan tempat parkir insidentil, penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor, lokasi/gudang/garasi yang disewakan dan tempat parkir lainnya yang sejenisnya.
(5) Tidak termasuk objek pajak sebagaimana dimaksud ayat (2) adalah :
a. penyelenggaraan tempat parkir oleh Pemerintah dan Pemerintah Kabupaten;
b. penyelenggaraan tempat parkir oleh Perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri, dan
c. penyelenggaraan tempat parkir oleh kedutaan, konsulat, perwakilan Negara asing dengan asas timbal balik.
Pasal 14
(1) Subjek Pajak Parkir adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan parkir kendaraan bermotor.
(2) Wajib Pajak Parkir adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan tempat parkir.
(3) Dalam hal Parkir diselenggarakan melalui pihak ketiga, pihak ketiga tersebut menjadi Wajib Pajak Parkir.
Bagian Ketujuh
Pajak Air Tanah
Pasal 15
(1) Setiap pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah dikenakan pajak dengan nama Pajak Air Tanah.
(2) Objek Pajak adalah kegiatan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah oleh orang pribadi atau badan.
(3) Dikecualikan dari objek pajak air tanah adalah :
a. Pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan pertanian dan perikanan rakyat, serta peribadatan;dan
b. Pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah oleh Pemerintah dan Pemerintah Kabupaten.
Pasal 16
(1) Subjek Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
(2) Wajib Pajak Air tanah adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
Bagian Kedelapan
Pajak Sarang Burung Walet
Pasal 17
(1) Setiap kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet oleh orang pribadi atau Badan dikenakan pajak dengan nama Pajak Sarang Burung Walet.
(2) Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet.
(3) Pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini meliputi :
a. Bentuk kegiatan pengambilan dan / atau pengusahaan sarang burung walet di habitat alami;
b. Bentuk kegiatan pengambilan dan / atau pengusahaan sarang burung walet di luar habitat alami.
(4) Sarang Burung Walet di habitat alami sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a adalah lingkungan burung walet hidup secara alami dan Burung Walet diluar habitat alami
(5) Sarang Burung Walet di luar habitat alami sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b adalah lingkungan tempat burung walet hidup dan berkembang yang di usahakan dan dibudayakan.
(6) Tidak termasuk objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Pengambilan Sarang Burung Walet yang telah dikenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Pasal 18
(1) Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang burung walet.
(2) Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang burung walet.
BAB IV
DASAR PENGENAAN, TARIF DAN CARA PERHITUNGAN PAJAK
Bagian Kesatu
Pajak Hotel
Pasal 19
(1) Dasar pengenaan pajak hotel adalah jumlah pembayaran atau jumlah yang seharusnya dibayar kepada Hotel.
(2) Jumlah yang seharusnya dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk potongan harga dan menginap cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa hotel.
Pasal 20
Tarif pajak hotel ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
Pasal 21
Besaran pokok pajak terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
Pasal 22
(1) Pengusaha Hotel mengenakan Pajak Hotel atas pembayaran pelayanan di Hotel dengan mengenakan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 20.
(2) Dalam hal Pengusaha Hotel tidak mengenakan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jumlah pembayaran telah termasuk Pajak Hotel.
Bagian Kedua
Pajak Restoran
Pasal 23
(1) Dasar pengenaan pajak restoran adalah jumlah pembayaran yang diterima atau yang seharusnya diterima Restoran.
(2) Jumlah yang seharusnya dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk potongan harga yang diberikan kepada penerima jasa restoran.
Pasal 24
Tarip Pajak Restoran ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
Pasal 25
Besaran pokok pajak terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dengan dasar pengenaan pajak pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
Pasal 26
(1) Pengusaha Restoran mengenakan Pajak Restoran atas pembayaran pelayanan di Restoran dengan mengenakan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 24.
(2) Dalam hal pengusaha Restoran tidak mengenakan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jumlah pembayaran telah termasuk Pajak Restoran.
(3) Dalam hal Pengusaha Restoran melakukan kontrak maka jumlah pembayaran pada nilai kontrak telah termasuk Pajak Restoran.
Bagian Ketiga
Pajak Hiburan
Pasal 27
(1) Dasar pengenaan pajak hiburan adalah jumlah uang yang diterima atau yang seharusnya diterima oleh penyelenggara hiburan.
(2) Jumlah uang yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk potongan harga dan tiket cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa hiburan.
Pasal 28
Tarif pajak untuk hiburan sebagai berikut :
a. pertunjukan film/ dikenakan pajak 10% (sepuluh persen);
b. pagelaran kesenian, musik/tari dan/atau busana, dikenakan pajak 10% (sepuluh persen);
c. kontes kecantikan, binaraga dan sejenisnya dikenakan pajak 10% (sepuluh persen);
d. pameran dikenakan pajak 10% (sepuluh persen);
e. diskotik, karaoke, klab malam, dan sejenisnya dikenakan pajak 35% (Tiga puluh lima persen);
f. sirkus, acrobat, sulap dan sejenisnya dikenakan pajak 10% (sepuluh persen);
g. permainan bilyard, golf, dan boling dikenakan pajak 10% (sepuluh persen);
h. pacuan kuda, kendaraan bermotor dan permainan ketangkasan dikenakan pajak 15% (lima belas persen);
i. panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran (fitness center) di kenakan pajak 10% (sepuluh persen); dan
j. pertandingan olahraga dikenakan pajak 10% (sepuluh persen).
Pasal 29
Besaran pokok pajak terutang adalah dengan cara mengalikan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dengan dasar pengenakan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.
Pasal 30
(1) Jumlah yang diterima oleh Penyelenggara Hiburan dikenakan Pajak Hiburan atas pembayaran pelayanan dengan mengenakan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28.
(2) Dalam hal Penyelenggaraan Hiburan tidak dikenakan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jumlah pembayaran telah termasuk Pajak Hiburan.
Bagian Keempat
Pajak Reklame
Pasal 31
(1) Dasar pengenaan Pajak Reklame adalah Nilai Sewa Reklame.
(2) Dalam hal reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak reklame.
(3) Dalam hal reklame diselenggarakan sendiri, Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media reklame.
(4) Dalam hal Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, Nilai Sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Cara Perhitungan Nilai Sewa Reklame(NSR) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan menghitung berdasarkan penjumlahan nilai jual obyek pajak reklame (NJOPR) ditambah nilai strategis penyelenggaraan reklame (NSPR) yang dalam bentuk rumus NSR = NJOPR + NSPR.
(6) Perhitungan Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
Pasal 32
(1) Tarif pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
(2) Penetapan Nilai Pajak Reklame dibulatkan ke atas menjadi kelipatan Rp. 1000,- (seribu rupiah).
(3) Ukuran luas dan ketinggian reklame, dibulatkan ke atas dua digit dibelakang koma;
(4) Apabila suatu objek pajak reklame dapat digolongkan lebih dari satu jenis reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), maka nilai pajaknya ditetapkan menurut jenis reklame yang tarifnya paling tinggi.
(5) Apabila suatu objek pajak reklame dapat digolongkan lebih dari satu kelas jalan reklame, maka nilai pajaknya ditetapkan menurut kelas jalan yang tarifnya paling tinggi.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan kelas jalan reklame dalam wilayah Kabupaten diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 33
Besaran pokok pajak reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31.
Bagian Kelima
Pajak Penerangan Jalan
Pasal 34
(1) Dasar Pengenaan Pajak Penerangan Jalan adalah Nilai jual tenaga listrik.
(2) Nilai Jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan :
a. dalam hal tenaga listrik berasal dari sumber lain dengan pembayaran, Nilai Jual tenaga Listrik adalah jumlah tagihan biaya beban/tetap ditambah dengan biaya pemakaian kwh/variable yang ditagihkan dalam rekening Listrik;
b. dalam hal tenaga listrik dihasilkan sendiri, Nilai jual Tenaga Listrik dihitung berdasarkan kapasitas tersedia, tingkat penggunaan listrik, jangka waktu pemakaian listrik, dan harga satuan listrik yang berlaku di Kabupaten Nunukan.
(3) Harga satuan listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, ditetapkan dengan Peraturan Bupati dengan berpodoman pada harga satuan listrik yang berlaku untuk PLN.
Pasal 35
Tarif Pajak ditetapkan sebagai berikut :
a. Penggunaan tenaga listrik yang berasal dari sumber lain :
1. bukan untuk golongan industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam sebesar 6 % (enam persen); dan
2. untuk golongan industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam sebesar 3% (tiga persen).
b. Penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri, tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
Pasal 36
Besaran Pokok Pajak Penerangan Jalan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.
Bagian Keenam
Pajak Parkir
Pasal 37
(1) Dasar Pengenaan Pajak Parkir adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada penyelenggara tempat parkir.
(2) Dalam hal Parkir diselenggarakan sendiri, dasar pengenaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan jenis tarif, area parkir, waktu, dan jumlah kendaraan.
(3) Jumlah yang seharusnya dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk potongan harga parkir cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa parkir.
Pasal 38
Tarif pajak parkir ditetapkan sebesar 20 % (dua puluh persen).
Pasal 39
Besaran pokok Pajak Parkir yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37.
Pasal 40
(1) Penyelenggara Parkir mengenakan Pajak Parkir atas pembayaran pelayanan Parkir dengan mengenakan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 38.
(2) Dalam hal Penyelenggara parkir tidak mengenakan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jumlah pembayaran telah termasuk Pajak Parkir.
Bagian Ketujuh
Pajak Air Tanah
Pasal 41
(1) Dasar pengenaan Pajak Air Tanah adalah Nilai Perolehan Air Tanah.
(2) Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan mempertimbangkan sebagian atau seluruh faktor-faktor berikut :
a. jenis sumber air;
b. lokasi sumber air;
c. tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
d. volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
e. kualitas air; dan
f. tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
(3) Besarnya Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
Pasal 42
Tarif Pajak Air Tanah ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
Pasal 43
Besaran pokok pajak Air Tanah yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41.
Bagian Kedelapan
Pajak Sarang Burung Walet
Pasal 44
(1) Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah Nilai Jual Sarang Burung Walet.
(2) Nilai Jual Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum Sarang Burung Walet yang berlaku di Kabupaten nunukan dengan volume Sarang Burung Walet.
Pasal 45
Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebagai berikut :
a. Pengambilan sarang burung walet di habitat alami ditetapkan sebesar 5 % (lima persen);
b. Pengambilan sarang burung walet di luar habitat alami sarang burung walet ditetapkan sebesar 7,5 % (tujuh koma lima persen).
Pasal 46
Besaran Pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagimana dimaksud dalam Pasal 45 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44.
BAB V
WILAYAH PEMUNGUTAN
Pasal 47
Objek pemungutan pajak adalah diwilayah Kabupaten Nunukan.
BAB VI
MASA PAJAK
Pasal 48
(1) Masa Pajak adalah jangka waktu pajak yang ditetapkan dalam satuan hari, satuan bulan dan satuan tahun dalam hitungan kalender.
(2) Satuan masa pajak ditentukan berdasarkan jenis objek pajaknya, sebagai berikut:
a. Pajak Hotel, Restoran, Hiburan, Parkir, Penerangan Jalan dan air Tanah ditetapkan 1 (satu) bulan ;
b. Pajak Reklame ditetapkan sebagai berikut :
1. Pajak Reklame Permanen dan Reklame terbatas ditetapkan 1 (satu) tahun;
2. Pajak Reklame Insidentil ditetapkan sebagai berikut :
a) jenis umbul-umbul, spanduk, banner, dan sejenisnya dengan jangka waktu paling singkat 1 (satu) hari dan paling lama 30 (tiga puluh) hari;
b) jenis Peragaan dengan jangka waktu paling singkat 1 (satu) hari dan paling lama 30 (tiga puluh) hari;
c) jenis selebaran, melekat sesuai dengan ijin penyelenggaraan; dan
d) jenis film/slide, udara, suara dan apung dengan jangka waktu paling singkat 30 (tujuh) hari;
c. Pajak Hiburan Insidentil dan Parkir Insidentil sesuai dengan izin penyelenggaraan.
d. Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan dari setiap pengambilan/panen sarang burung wallet.
Pasal 49
Pajak terutang dalam masa pajak terjadi pada saat pembayaran dan/atau yang seharusnya dibayarkan oleh Wajib Pajak.
BAB VII
PENDAFTARAN DAN PENETAPAN PAJAK
Pasal 50
(1) Pendaftaran dilakukan dengan menggunakan SPTPD.
(2) Setiap Wajib Pajak Wajib menerima, mengisi dan menyampaikan SPTPD.
(3) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diisi dengan jelas, benar dan lengkap serta ditanda tangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya dan disampaikan kepada Bupati.
(4) Pengembalian SPTPD disampaikan kepada Bupati selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari setelah berakhirnya masa pajak.
(5) Pelaksanaan dan tata cara pendaftaran obyek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
Pasal 51
(1) Berdasarkan SPTPD, Bupati menerbitkan SKPD.
(2) Bupati dapat mengeluarkan SKPD dalam hal apabila SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) tidak disampaikan dan setelah Wajib Pajak ditegur secara tertulis oleh Bupati sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran.
(3) Jika Wajib Pajak tidak menyampaikan SPTPD kepada Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka SKPD akan ditetapkan secara jabatan dan dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak ditambah sanksi administratif berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) setiap bulan dalam jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dari sejak terutang pajak.
BAB VIII
PEMUNGUTAN PAJAK
Bagian Kesatu
Tata Cara Pemungutan
Pasal 52
(1) Pemungutan Pajak Daerah tidak dapat diborongkan.
(2) Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan surat ketetapan pajak atau dibayar sendiri oleh wajib pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Jenis pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati adalah pajak reklame dan pajak air tanah.
(4) Jenis pajak yang dibayar sendiri oleh wajib pajak adalah Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Parkir, Pajak Penerangan Jalan dan Pajak Sarang Burung Walet.
(5) Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan berdasarkan penetapan Bupati dibayar dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
(6) Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa karcis dan Nota Perhitungan.
(7) Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan sendiri dibayar dengan menggunakan SPTPD, SKPDKB, dan atau SKPDKBT.
(8) Tata cara pembayaran pajak diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
Pasal 53
(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Bupati dapat menerbitkan :
a. SKPDKB dalam hal :
1. jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
2. jika SPTPD tidak disampaikan kepada Bupati dalam jangka waktu tertentu dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; atau
3. jika kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang terutang dihitung secara jabatan.
b. SKPDKBT jika ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang.
c. SKPDN jika jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 dan 2 dikenakan sanksi administratif berupa bunga 2 % (dua persen) setiap bulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak.
(3) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100 % (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
(4) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.
(5) Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3 dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 25 % (dua puluh lima persen) dari pokok pajak ditambah sanksi administrative berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) setiap bulan, dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.
Pasal 54
(1) Tata cara penerbitan SPTPD, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) dan ayat (3), pasal 51 ayat (1) dan pasal 52 ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian SPTPD, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (2) dan ayat (3), pasal 51 ayat (1) dan pasal 52 ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
Bagian Kedua
Surat Tagihan Pajak
Pasal 55
(1) Bupati dapat menerbitkan STPD jika:
a. pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung; atau
c. wajib pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan b ditambah dengan sanksi administratif berupa bunga 2 % (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 15 (lima belas) bulan sejak saat terutangnya pajak.
(3) SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran dikenakan sanksi administratif berupa bunga 2 % (dua persen) setiap bulan dan ditagih melalui STPD.
Bagian Ketiga
Tata Cara Pembayaran dan Penagihan
Pasal 56
(1) Jatuh tempo pembayaran dan penyetor pajak terutang ditetapkan sebagai berikut :
a. Pajak Hotel, Restoran, Hiburan, Parkir, Penerangan Jalan, Air Tanah, Sarang Burung Walet Ditetapkan 30 (tiga puluh) hari;
b. Pajak Reklame ditetapkan sebagai berikut :
1. reklame Tetap Terbatas ditetapkan 15 (limabelas) hari kerja;
2. reklame Tetap Parmanen ditetapkan 30 (tigapuluh) hari kerja;dan
3. reklame Insidentil ditetapkan 7 (tujuh) hari kerja.
(2) SPTPD. SKPD, SKPDKB, SKPDPKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah merupakan dasar penagihan pajak dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
(3) Bupati atas pemohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak, dengan dikenakan bunga sebesar 2 % (dua persen) setiap bulan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran pajak diatur dengan peraturan Bupati.
Pasal 57
(1) Pajak yang terutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 51 ayat (2) dan ayat (3) selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Ketetapan Pajak Daerah oleh Wajib Pajak.
(2) Pajak yang terutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2 % (dua persen) setiap bulan, yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
(3) Denda administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditambah dengan hutang pajak yang belum atau kurang dibayar ditagih dengan Surat Tagihan Pajak yang harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Tagihan Pajak oleh Wajib Pajak.
(4) Pajak yang terutang dibayar di kas daerah melalui bank atau tempat lain yang ditunjuk oleh Bupati.
(5) Tata cara pembayaran dan penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
Pasal 58
(1) SPTPD, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding merupakan dasar penagihan pajak.
(2) Pajak yang terutang berdasarkan SPTPD, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding, yang tidak atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
(3) Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 59
(1) Surat Teguran atau Surat Peringatan atau Surat lain yang sejenis sebagai awal tindakan pelaksanaan penagihan pajak diterbitkan 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran pajak.
(2) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal diterima Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis Wajib Pajak harus melunasi pajak yang terutang.
(3) Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh Kepala Dinas.
(4) Apabila jumlah pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi dalam jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran atau Surat Peringatan atau Surat lain yang sejenis, diterbitkan dan ditagih dengan Surat Paksa; dan
(5) Penerbitan Surat Paksa sebagaimana dimaksud ayat (4) dilakukan oleh Kepala Dinas dan/atau juru Sita setelah lewat 21 (dua puluh satu) hari sejak tanggal diterima Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis.
Pasal 60
(1) Surat Paksa diterbitkan apabila :
a. Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lainnya yang sejenis; atau
b. Wajib Pajak tidak memmenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan angsuran atau penundaan pembayaran.
(2) Surat Paksa sekurang-kurangnya harus memuat :
a. nama Wajib Pajak atau Penanggung Pajak;
b. dasar hukum penagihan pajak;
c. besarnya hutang pajak;dan
d. perintah untuk membayar pajak.
(3) Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keempat
Keberatan dan Banding
Pasal 61
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Bupati atau pejabat yang ditunjuk atas suatu :
a. SKPD;
b. SKPDKB;
c. SKPDKBT;
d. SKPDLB;dan
e. SKPDN.
f. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.
(4) Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling sedikit sejumlah yang yang telah disetujui Wajib Pajak.
(5) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
(6) Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh Bupati atau Pejabat yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui surat pos tercatat sebagai tanda bukti penerimaan Surat Keberatan.
Pasal 62
(1) Bupati dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.
(2) Keputusan Bupati atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang terutang.
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Bupati tidak memberi suatu keputusan, keberatan, yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
Pasal 63
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Bupati.
(2) Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan keputusan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan keberatan tersebut.
(3) Pengajuan permohonan banding menangguhkan kewajiban membayar pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan putusan Banding.
Pasal 64
(1) Jika pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2 % (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat).
(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKPDLB.
(3) Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 50 % (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa denda sebesar 50 % (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan.
(5) Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
Bagian Kelima
Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan ketetapan, dan
Penghapusan atau Pengurangan Sanksi administratif
Pasal 65
(1) Atas permohonan wajib pajak atau karena jabatannya, Bupati dapat membetulkan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, SKPDN atau SKPDLB yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perpajakan daerah.
(2) Bupati dapat :
a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administratif berupa bunga, denda dan kenaikan pajak yang terutang menurut peraturan perpajakan daerah, dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kehilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
b. mengurangkan atau membatalkan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, atau SKPDLB yang tidak benar;
c. mengurangkan atau membatalkan STPD.
d. membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan; dan
e. mengurangkan ketetapan pajak terutang berdasarkan pertimbangan kemampuan membayar Wajib Pajak atau kondisi tertentu objek pajak; dan
f. mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak terutang dalam hal objek pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi administratif dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB IX
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN
Pasal 66
(1) Atas kelebihan pembayaran Pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Bupati.
(2) Bupati dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan, sejak diterimanya permohonan pengambilan kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan.
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dilampaui dan Bupati tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran Pajak dianggap dikabulkan dan SKPDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
(4) Apabila Wajib Pajak mempunyai utang Pajak lainnya, kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasai terlebih dahulu utang Pajak tersebut.
(5) Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB.
(6) Jika pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan, Bupati memberikan imbalan bunga sebesar 2 % (dua persen) setiap bulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran pajak.
(7) Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB X
KEDALUWARSA PENAGIHAN
Pasal 67
(1) Hak untuk melakukan penagihan Pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampauhi waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana dibidang perpajakan daerah.
(2) Kedaluarsa Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila :
a. diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa , atau
b. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
(3) Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian surat tersebut.
(4) Pengakuan utang pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Kabupaten.
(5) Pengakuan utang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
Pasal 68
(1) Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kedaluarsa dapat dihapuskan.
(2) Bupati menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Pajak Daerah yang sudah kadaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Tata cara penghapusan piutang pajak yang sudah kadaluwarsa diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB XI
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN
Pasal 69
(1) Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan omzet paling sedikit Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) per tahun wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.
(2) Kriteria Wajib Pajak dan tata cara pembukuan atau pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 70
(1) Bupati berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan kewajiban perpajakan daerah dalam rangka melaksanakan peraturan perpajakan daerah.
(2) Wajib Pajak yang yang diperiksa wajib :
a. memperhatikan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek pajak yang terutang;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberikan bantuan guna kelancaran pemeriksaan, dan/atau;
c. memberikan keterangan yang diperlukan.
(3) Apabila pada saat pemeriksaan, Wajib Pajak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka pajak terutang dapat ditetapkan secara jabatan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan Pajak diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB XII
INSENTIF PEMUNGUTAN
Pasal 71
(1) Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak Daerah dapat diberi insentif atas pencapaian kinerja.
(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
(3) Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XIII
KETENTUAN KHUSUS
Pasal 72
(1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perpajakan daerah.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perpajakan daerah.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah :
a. Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan;
b. Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Buapti untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga Negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan daerah.
(4) Untuk kepentingan Daerah, Bupati berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperhatikan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
(5) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Bupati dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
(6) Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
BAB XIV
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 73
(1) Selain Penyidik POLRI Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan Pemerintah Kabupaten diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Kabupaten yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan derah;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah;
d. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana perpajakan daerah;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
j. menghentikan penyidikan; dan/atau
k. melakukan tindakan yang perlu untuk kelancaran penyedikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
BAB XV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 74
(1) Wajib pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat pidana dengan pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 174 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
(2) Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 174 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
Pasal 75
Tindak pidana dibidang perpajakan daerah tidak dituntut setelah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak atau berakhirnya Bagian Tahun Pajak atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.
Pasal 76
(1) Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Buapti yang karena Kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 177 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
(2) Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Buapti yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 177 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
(3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiannya dilanggar.
(4) Tuntutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan sifatnya adalah menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau badan selaku Wajib Pajak, karena itu dijadikan tindak pidana pengaduan.
Pasal 77
Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) merupakan penerimaan Negara
BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 78
(1) Terhadap Pajak Daerah untuk tahun pajak 2010 dan sebelumnya berlaku ketentuan Peraturan Daerah yang lama.
(2) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, Peraturan pelaksanaan yang telah ada di bidang Pajak Daerah tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Peraturan Daerah dan yang bersangkutan masih dapat ditagih selama jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutang.
(3) Dengan berlakunya Peraturan daerah ini maka:
a. Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan Nomor 14 Tahun 2001 tentang Retribusi Tempat Khusus Parkir (Lembaran Daerah Kabupaten Nunukan Tahun 2001 Nomor 14 Seri B Nomor 04);
b. Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan Nomor 27 Tahun 2001 tentang Pajak Hotel (Lembaran Daerah Kabupaten Nunukan Tahun 2001 Nomor 27 Seri A Nomor 01);
c. Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan Nomor 28 Tahun 2001 tentang Pajak Restoran (Lembaran Daerah Kabupaten Nunukan Tahun 2001 Nomor 28 Seri A Nomor 02);;
d. Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan Nomor 29 Tahun 2001 tentang Pajak Hiburan (Lembaran Daerah Kabupaten Nunukan Tahun 2001 Nomor 29 Seri A Nomor 03);
e. Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan Nomor 30 Tahun 2001 tentang Pajak Reklame (Lembaran Daerah Kabupaten Nunukan Tahun 2001 Nomor 30 Seri A Nomor 04);
f. Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan Nomor 32 Tahun 2001 tentang Pajak Penerangan Jalan (Lembaran Daerah Kabupaten Nunukan Tahun 2001 Nomor 32 Seri A Nomor 06).
g. dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 79
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam peraturan daerah ini sepanjang mengenai pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
Pasal 80
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Nunukan.

Ditetapkan di Nunukan
pada tanggal 04 April 2011
BUPATI NUNUKAN,
ttd
H. ABDUL HAFID ACHMAD

Diundangkan di Nunukan
pada tanggal 04 April 2011
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN NUNUKAN,
ttd
ZAINUDDIN HZ
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN NUNUKAN TAHUN 2011 NOMOR 11